Pesantren adalah bentuk pendidikan Islam di
Indonesia yang telah berakar sejak berabad-abad silam. Nurcholish Madjid, dalam
buku "Bilik-bilik Pesantren" (Paramadina-Jakarta, 1997), menyebut
bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous)
Indonesia. Kata "pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para
santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal
dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek
huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seorang
yang mengikuti gurunya kemana pun pergi. Sedangkan menurut Bpk.Marsikhon Mansur
Pesantren adalah tempat pembinaan diri seseorang (santri) di bidang peribadatan
dan keilmuan dalam tanggung jawab orang lain yang dilengkapi dengan tempat
ibadah dan tempat huni (pondok). Pendekatan di pesantren lebih menekankan
pendekatan kulturan,moral, intuitif dibanding pendekatan rasional dan hukum.
Pesantren setidaknya memiliki tiga unsur.
Yakni santri, pondok atau asrama tempat tinggal para santri, serta kiai atau
pimpinan pesantren tersebut. Dalam tradisi, kiai adalah pusat dari kehidupan
pesantren. Kiai juga menjadi pusat kehidupan masyarakat sekitarnya. Baik dalam
intelektualitas, religiositas, maupun sosial. Maka pesantren dan kiai mempunyai
peran besar dalam sejarah bangsa ini. Bpk.Marsikhon membagi tugas poko seorang
santri menjadi 2.Pertama, yaitu aktivitas kemanusiaan dalam rangka meningkatkan
jati dan guna diri atas dasar tujuan dan dengan cara yang tak
bertentangan dengan prinsip ajaran islam. Kedua, tugas seorng santri yaitu Ibadah.
Pesantren Giri di Gresik bersama institusi
sejenis di Samudra Pasai telah menjadi pusat penyebaran keislaman dan peradaban
ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali
-diantaranya kemudian disebut wali songo atau sembilan wali-menempa diri. Dari
pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk ri Bandang, membawa peradaban Islam
ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya. Makassar lalu melahirkan Syekh
Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa. Mulai dari Makassar, Banten,
Srilanka hingga Afrika Selatan.
Di awal Abad 19, Kiai Besari dari Pesantren
Tegalrejo-Ponorogo mengambil peran besar. Pesantren ini menempa banyak tokoh
besar seperti Pujangga Ronggowarsito. Pada akhir abad itu, posisi serupa
diperankan oleh Kiai Kholil, Bangkalan-Madura. Dialah yang mendorong dan
merestui KH Hasyim Asy'ari atau Hadratus Syeikh , santrinya dari pesantren Tebu
Ireng - Jombang, untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun menjadi
organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia.
Di
jalur yang sedikit berbeda, rekan seperguruan Hadratus Syeikh di Makkah, KH
Ahmad Dahlan pun mengambil peran yang kemudian mempengaruhi kelahiran
"pesantren moderen" seperti Pondok Gontor - Ponorogo. Alur 'moderen'
ini juga ditempuh A. Hasan dari Persis-Bangil, juga Persatuan Umat Islam di
Jawa Barat, serta kalangan surau di Minang yang melahirkan Buya Hamka.
Setelah Indonesia merdeka, kalangan 'moderen'
ini sempat menyumbangkan tokoh-tokoh penting di pemerintahan. Bukan hanya Mukti
Ali di lingkup Departemen Agama. Namun juga M. Natsir yang pernah menjadi
perdana menteri, serta Syafrudin Prawiranegara yang sempat menjadi perancang
ekonomi nasional maupun perdana menteri.
Peran tokoh-tokoh dari pesantren yang lebih
murni, lebih dari setengah abad terbatasi di lingkup keagamaan. Sejak KH Wahid
Hasyim -putra Hadratus Syeikh-- hingga KH Syaifuddin Zuhri menempati posisi
Menteri Agama. Reformasi politik Indonesia 1998-1999 ikut membongkar sekat
tersebut. KH Abdurrahman Wahid yang terpilih menjadi Presiden Republik
Indonesia keempat pada 1999, adalah "orang pesantren".